Sabtu, 13 April 2019

Bermodal Rp 600.000, Rina Kini Raup Omzet Ratusan Juta Rupiah - Kompas.com - KOMPAS.com


JAKARTA, KOMPAS.com -  Pendiri Tintin Chips, Rina Trisnawati menggandeng sang adik, Wulan Diasari, berbisnis makanan ringan sekaligus memberdayakan kalangan ibu-ibu yang mempunyai anak penyandang disabilitas sejak tahun 2014.


"Berbisnis bisa saja hanya untuk mengejar keuntungan. Tapi kalau tidak bermanfaat bagi orang lain, buat apa?" sebut Rina seperti dilansir Kontan.co.id.


Ia sengaja memilih berbisnis makanan ringan karena ia melihat kebanyakan orang Indonesia suka ngemil dan terkadang membutuhkan camilan yang berbeda. Selain itu, kota Bandung, tempat tinggalnya, memang dikenal sebagai salah satu kota penghasil beragam camilan dan snack atau makanan ringan. Apalagi pada tahun 2014, bisnis camilan dan keripik dari Bandung, seperti Maicih dan Karuhun, tengah naik daun.


"Saya memang punya hobi memasak, dan suka mencoba-coba resep baru di rumah. Saya juga hobi jualan makanan, apa saja saya jual. Tetapi dulu, produk yang saya jual adalah buatan orang lain," kata perempuan yang akrab disapa Teh Rina ini.


Baca juga: Catat, Ini 4 Pekerjaan bagi Pensiunan untuk Raup Penghasilan Tambahan

Saat awal meluncurkan Tintin Chips, dia baru memproduksi makanan ringan berbentuk cookies tipis kering terbuat dari kacang almon atau yang akrab disebut almond crispy cookies.


"Produknya mirip almond crispy dari Surabaya. Sebenarnya kami yang lebih dahulu meluncurkan produk itu. Karena produk sejenis dari Surabaya diproduksi secara masal, maka jadi lebih dikenal masyarakat," imbuh Wulan.

Tintin Chips yang mulanya hanya menjual cookies almon saja, kini sudah menjajakan dengan aneka rasa. Mulai dark chocolate, greentea, coffee, cinnamon, dan yam cookies. Harga satu tabung Tintin Chips ukuran 135 gram dibanderol Rp 60.000 dan untuk tube kecil isi 85 gram harganya sebesar Rp 40.000.

Tahun lalu, Tintin Chips meluncurkan kreasi baru yaitu keripik kentang salted egg dan rengginang yang dibanderol Rp 60.000 per kemasan. Semuanya dibuat, klaimnya, dengan bahan berkualitas serta tanpa pengawet dan MSG.

Sejauh ini, sudah ada sekitar 20 ibu yang memiliki anak disabilitas bergabung dengannya untuk membantu proses produksi Tintin Chips. "Hasilnya bisa untuk menambah penghasilan dari ibu-ibu tersebut," tambahnya.

Dengan bantuan mereka, kapasitas produksi Tintin Chips saat ini bisa mencapai 100 pack atau tub per hari atau sekitar 3.000 kemasan per bulan. Adapun omzet yang dicatatnya bisa mencapai ratusan juta rupiah per bulan.


"Beberapa omzet kami untuk biaya terapi dan pengobatan anak disabilitas," tutur Rina.

Keluar dari kerja kantoran


Sebelum memutuskan untuk sepenuhnya terjun ke dunia bisnis, Rina sempat berkarir sebagai seorang pekerja kantoran. Sedangkan Wulan merupakan pekerja sosial di salah satu lembaga sosial.

Ia pernah bekerja di lembaga kursus bahasa Inggris selama tujuh tahun di Bandung. Lantas pindah ke perusahaan tekstil.

Belum genap satu tahun, kembali ia pindah kerja ke Jakarta pada tahun 2002 di sebuah perusahaan, dan baru saja mengajukan pengunduran diri. "Karena mau fokus di Tintin Chips," tutur Rina.

Sebelum membuat Tintin Chips, Rina sudah sering berjualan segala macam makanan khas Bandung, seperti keripik dan kerupuk untuk dibawa ke Jakarta. Ia pun memiliki banyak pelanggan di kantor tempat ia bekerja.


Baca juga: Kisah Pengusaha Konveksi, Bermodal Rp 6 Juta, Kini Beromzet Rp 800 Juta Per Bulan

Hingga pada awal 2014, ia mengikuti kelas inkubator tentang bagaimana cara memulai bisnis. Saat itu ia sudah berniat untuk menjual produknya sendiri, tentu dengan merek sendiri.

Setelah mendapatkan pengetahuan dari kelas inkubator itulah, perempuan 50 tahun ini mulai merancang model bisnis serta mempersiapkan segala keperluan bisnisnya. "Saya mulai berpikir soal apa produknya sampai konsep kemasan dan pemasarannya," ujar Rina.

Dengan modal awal Rp 600.000, ia pun memberanikan diri membuat produk sendiri. Modal tersebut digunakan untuk membeli peralatan seperti oven tangkring dan bahan baku usaha lainnya.

Dan untuk desain kemasan, Rina dibantu seorang teman yang memiliki keahlian dalam desain. Meski begitu, ia dan Wulan sempat beberapa kali mengganti desain dan bahan kemasan karena kurang aman dan menarik

Keseriusan Rina di kemasan ini ada ceritanya. Ia sempat mendapat pesanan kukis dari Palembang. Awalnya, kemasan produknya memakai mika berbentuk tabung. Namun, setelah dikirim ke Palembang, ternyata kukis buatannya sudah hancur.


"Walaupun pelanggan tidak masalah, tapi tetap saya ganti dan saat itulah saya berpikir untuk merombak kemasan," ceritanya.

Karena banyak kejadian serupa, Rina berupaya untuk memperbaiki kemasan Tintin Chips agar lebih aman saat dikirim ke luar kota. Ia mencoba mengubah kemasan mika dengan menggunakan kemasan tabung berbahan komposit, dilengkapi oleh lukisan yang identik dengan anak-anak.


Hal itu membuat tampilan Tintin Chips terlihat lebih trendi dan menarik bagi anak. Lukisan yang ada pada kemasan bisa diwarnai dan kemasan bisa dipakai untuk menyimpan benda kecil.


Pemasaran digital


Saat awal memasarkan Tintin Chips, Rina menjual produknya secara langsung ke para kolega atau lewat sebuah workshop di kawasan Cileunyi, Bandung. Jadi semua produk Tintin Chips dijual offline, lewat toko fisik atau pesan langsung melalui dirinya.

Seiring berjalannya waktu, perempuan berdarah Sunda ini menyadari perkembangan digital yang marak di masyarakat. Alhasil, ia memutuskan memanfaatkan media sosial untuk mengembangkan bisnis Tintin Chips.

Rina bertekad harus bisa memanfaatkan media sosial untuk memasarkan produknya. "Seorang teman yang lebih milenial mengajari saya membuat akun Instagram dan sampai sekarang memakai akun tersebut untuk promosi produk," ucapnya.

Semenjak memiliki akun Instagram dan web, semua pemasaran Tintin Chips dikelola secara digital, baik lewat akun Instagram, lantas e-commerce serta via WhatsApps. Pemesanan juga dilakukan secara digital. Menurut Rina, pemasaran secara digital dinilai lebih efisien untuk menjangkau pasar yang lebih luas, terutama kalangan milenial.

Selain mengandalkan platform digital, Tintin Chips juga membuka peluang sebagai reseller. Syaratnya, calon reseller harus membeli minimal 25 tube Tintin Chips senilai Rp 1,25 juta.

Saat ini, sudah ada 50 reseller Tintin Chips yang tersebar di berbagai kota. "Nomor kontak reseller bakal dicantumkan di Instagram dan situs Tintin Chips. Balik modalnya juga cepat, apalagi saat hari raya, bisa dua minggu," klaimnya.


Baca juga: Cerita Rosie, Pebisnis Tahu Olahan dengan Omzet Rp 3,5 Miliar Per Bulan

Selain gencar berjualan lewat sarana digital, ia juga bergabung dengan komunitas dan organisasi pengembangan bisnis UKM. Lewat komunitas tersebut, jejaring perempuan kelahiran 1969 ini kian bertambah. Ini membuat produk Tintin Chips bisa masuk ke toko produk UKM milik Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah, yaitu Smesco di kawasan Pancoran, Jakarta Selatan.

Karena bergabung di Smesco itulah yang membuat laju bisnis Rina terus tumbuh. Tak disangka, ia mendapat tawaran memasok produk camilan untuk Garuda Indonesia.

Khawatir tidak sanggup memenuhi kebutuhan produksi, ia sempat mundur. Tapi berkat dorongan temannya, hingga membantu membuat desain kemasan, ia akhirnya memberanikan diri ikut tender dan tembus.

Kini produk camilan Tintin Chips sudah satu setengah tahun resmi menjadi produk camilan andalan Garuda Indonesia di rute penerbangan internasional. Konsumen Tintin Chips pun kebanyakan berasal dari luar negeri.

Rina berkomitmen terus berinovasi supaya bisnisnya berkembang. Seperti mengeluarkan produk baru dan memperluas pasar.  (Elisabeth Adventa)


Berita ini telah tayang di Kontan.co.id dengan judul Kisah Rina Trisnawati dan Wulan Diasari membesarkan Tintin Chips







Read More

Tidak ada komentar:

Posting Komentar